ISU-ISU KONTEMPORER
DALAM
STUDI ISLAM
Makalah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengantar
Studi Islam
Dosen Pengampu : M.
Rikza chamami, Msi
Disusun Oleh :
Kelompok : 9
1.
Ayu Rafika Uliya (123911038)
2.
Anna mila (123911036)
3.
Anggraini (123911034)
4. Aizatul aliyah
(123911029)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2013
I.
Pendahuluan
Islam
memiliki peran penting historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang
sama,pemahaman kita terhadap fenomena ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan
untuk mendorong dan memperkasai pemikiran yang berani, bebas dan produktif
tentang islam sekarang. Apa yang di sebut dengan revivalismeislam telah
memonooli wacana tentang islam ; para ilmuan sosial, lebih-lebih, tidak
memberikan perhatian terhadap aa tang saya sebut “islam yang diam”(the
silent islam)-islam dari kaum mu’mininsejati yang lebih mementingkan
hubungan religius dengan tuhan yang Absolut ketimbang dengan
demonstrasi-demonstrasi gerakan politik yang berapi-api.[1]
berhubungan
langsung dengan persoalan ketuhanan, selalu saja di telaah dari prespektif ilmu
kalam. Tiga aliran kalam, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah,
erupakan tonggak sejarah Dalam bangunan pemikiran islam klasik,ilmukalam
mempunyai tempat yang cukup sentral. Sedemikian sentranya sehingga segala
persoalan keagamaan islam, terlebih-lebih yang pemikiran yang tidak dapat
dihapus dari khanzanah intelektual islam klasik, ang samai sekarang masi di
kaji di berbagai pusat pendidikan dan pengajaran islam, baik di pesantren,
madrasah Tsanawiya/Aliyah,IAIN,maupun program-program Islamic Studies, seperti
program pasca kita sekarang.[2]
Kontemporer
artinya dari masa atau waktu ke waktu. Sejarah islam kontemporer, yaitu suatu
ilmu yang mempelajari kebudayaan islam pada masa lampau dari waktu ke waktu
yang di mulai dari masa Rasulullah.menurut bahasa (etimologi), islam
konyemporer adalah agama yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Pada masa
lampau dan berkembang hingga sekarang.
Menurut istilah
(terminologi), islam kontemporer adalah gagasan untuk mengkaji islam sebagai
nilai alternatif baik dalam perspektif interprestasi, tekstual maupun kajian
kontekstual mengenai kemampuan islam memberikan solusi bari kepada
temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga sekarang.[3]
Setiap pemeluk
agama yang taat memilih sikap menjauhi fanatisme buta, dan membangun
ketaatannya berdasarkan pengetahuan yang benar terhadap agama-agama yang di
peluk. Selain itu, ia pun harus memiliki kesadaran yang utuh akan aspek-aspek
universal yang terkandung dalam setiap agama.
Di sini,
terorisme dan radikalisme perlu disebut sebagai fenomena-fenomena umum yang
tersebar di seluruh duni, bukan hanya di dunia islam semata, sebagaimana yang
di tuduhkan oleh sebagian kalangan.
Pengetahuan
yang benar tentang islam akan menjelaskan bahwa agama ini menentang
segalabentuk radikalisme maupun terorisme. Etos kasih sayang merupakan salah
satu bagian pentingdalam ajaran islam. Karena itu, setiap surat dalam Al-Qur’an
selalu
dimulai dengan
kalimat:dengan menyebut nama Allah yangMahapengasih lagi Mahapenyayang. Betapa
kasih sayang Allah begitu luas, mencangkup segala sesuatu serta seluruh manusia yang berusaha keras mewujudkn
keadilan dan perdamaian.[4]
Isu yang
kontemporer yang menjadi perhatian islam sekarang (Liberal, Terorisme,
Pluralisme, dan kesetaraan Gender). Hal tersebut perlu dikaji supaya tidak
terjadi kesalah pahaman dalam memahami Liberal, Terorisme, Pluralisme, dan
Gender.supaya menjadi umat yang rahmatallil alamin sesuai dengan ajaran kita.
II.
Rumusan masalah
1.
Apa yang dimaksud Islam
Liberal?
2.
Apa yang dimaksud Islam Terorisme?
3.
Apa yang dimaksud Islam dan pluralisme beragama?
4.
Apa yang dimaksud Islam dan Kesetaraan Gender?
III.
Pembahasan
Berdasarkan abstraksi dari rumusan masalah maka ada beberapa
masalah yang hendak dibidik.
A.
Islam Liberal
Islam liberal mempunyai makna kebebasan Tnpa batas,atau bahkan di
setrakan dengan sikap permisif (ibahiyah),yaitu sikap menolerir setiap hal
tanpa mengenal batas yang pasti.Dengan cara pandang seperti itu, Islam liberal
di pandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.
Dalam Islam persoalan batasan antara mana yang boleh dan yang tidak
boleh menempati kedudukan yang sentral.Setiap islam selalu peduli dengan apa
yang dia kerjakan, apakah perbuatan itu boleh atau tidak.Inilah yang kemudian
melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan
literature yang canggih yaitu bidang Fikih.Setiap pembicaraan tentang hukum
selalu saja merujuk kepada Fikih.Ketika muncul diskusi yang ramai tentang hukum
islam,maka Fikih menjadi nfokus perhatian,sebab dalam Fikih lah sebagian besar
hukum di rumuskan.
Dalam diskusi – diskusi itu,tekanan di berikan kepada
“kewajiban”,yaitu kewajiban muslim terhadap Allah, sesame manusia, dan dirinya
sendiri.
Islam liberal muncul untuk menyeimbankan neraca antara bahasa
kewajiban dn kebebasan / hak ini.Tujuan pokok dari agama adalah mengankat
martabat kemanusiaan.Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri,
bukan semata-mata Tuhan.Suatu kesalahan besar anggapan bahwa tugas pkok
manuia adalah menyembah Tuhan.Pandangan ini bersumber dari pemahan
yang salah atas ayat “wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liyak’budun”.Dan
tidak Aku ciptakan manusia kececuali untuk menyembah-Ku.ayat ini jika di pahami
dalam keranka popoler yang cendrung anti-humanistik, yang tidak lain agama itu
dalah penundukan manusia.manusia seolah-olah ancaman bagi tuhan sehingga harus di tundukan.Pandangan mengenai
manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos
Yunani kuno.Pandangan popular yang berkembang di kalangan umat islam mengenai
ayat tersebut cendrung kepada suatu citra manusia sebagaui Prometheus.
Prometheus versi islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak
TuhanIni jelas suatu citraan yang tidak sesuai dengan semangat Islam.
Penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia
sebagai hubungan “I-it”, “aku dan
dia”.Allah dalam keranka penyembahan semacam itu, telah “di bendakan”.
Allah yang di sembah adalah Allah yang di berhalakan, yang di fiksasi dalam gambaran
yang tetap seperti “Idol”.Kata libebral dalam “Islam Liberal” tidak ada sankut
pautnya dengan ‘kebebasan tanpa batas”[5]
B.
Islam Terorisme
Pada dasarnya, wacana mulai mencuat ke permukaan setelah terjadi
tragedi 11 september 2001, konstelasi politik global menjadi berubah total.
Sebab, Amerika melalui Presiden Bush mengeluarkan kebijakannya yang cukup
mengejutkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-phak yang tidak bergabumg dengan
Amerika untuk memerangi teroris,maka
akan menjadi musuh Amerika. Kalimat ini sering dikutip di mana-mana: “Now
for all nations of the world, there only wo choice:either they join Amerika,
and if they don’t they join the terorrism.”
Dengan pernyataan ini, setidaknya tekanan Amerika terhadap
indonesia dapat di lihat sejak tragedi itu.
Kata terorisme definisinya tidak di temukan dri kalangan
Ulama terdahulu, sebab istilah tersebut digunakan bermula dari indelogi Eropa pada
masa revolusi Perancis tahun 1789-1794 M. Manusia pada zaman inipun masih
berselisih dalam memberikan definisi tentang terorisme, padahal terorisme
adalah kalimat yang paling bayak di gunakan di tahun-tahun terakhir ini.yang
mana sering dihubung-hubungkan dengan aksi kekerasan yang di lakukan oleh
kelompok-kelompok yang tidak diakui oleh pemerintah yang secara terpisah
berupaya mendapatkan kekuasaan atau pengaruh. Walau pun kelompok ini tidak bisa
melakukan pembunuhan (pembantaian) dalam skala besar seperti yang dilakukan
pemerintah dengan kekuatan militernya. Tetapi lebih sering lagi aksi terorisme
dilandasi oleh kepentingan-kepentingan agama kadang bersamaan dengan
faktir-faktor lain, kadang juga sebagai motivasi primer yang menampilkan
aksi-aksi terorisme. Persepsi umum dimana kekerasan agama muncul secara global
dalam dekade XX dikarenakan adanya catatan peristiwa aksi kekerasan semacam
itu.
Teror berasal dari
bahasa latin, terrere, artinya menimbulkan rasa gemetar dan cemas. Teroisme
berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini secara umum digunakan
dalam pengertian politik, sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa
Pemerintah Teror Revolusi Perancis akhir abad ke-18. Oleh karena itu, respons
publik terhadap kekerasan- rasa cemas yang di akibatkan oleh terorisme-
merupakan bagian dari pengertia terma tersebut.
Menurut bahasa: “terorisme adalah melakukan sesuatu yang
menyebabkan orang menjadi panik, takut gelisah, tidak aman dan menimbulkan
gangguan dalam bidang kehidupan dan interaksi manusia”.
Sedangkan menurut syari’at: “terorisme adalah segala sesuatu
yang menyebabkan goncangan keamanaan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau
pelampauan batas dengan berbagai bentuknya”.[6]dari
berbagai catatan sejarah, kejadian yang melanda umat saat ini, bahwa kejadian
dan aksi tidaklahkeluar dari dua perkara. 1. Terorisme fisik, yaitu
peristiwa yang sekarang terjadi puncak sorotan masyarakat,berupa
peledakan, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan dan seterusnya. 2.Terorisme
idiologi (pemikiran/pemahaman), yaitudengan menjelaskan segala pemikiran
menyinpang dan menyempal dari tuntunan Islam yang benar. Sebas ideologi
tersebut merupakan cikal bakal munculnya terorisme fisik dan apabila tidak di
berantas akan ssenantiasa menjadi ancaman serius di masa yang akan datang.[7]
Definisi dan
kriteria teroris harus disepakati semua pihak, Marty nata legawa direktur
organisasi internasional departemen luar negeri berpendapat, terorisme yang
dipahami bersama adalah tindakan untuk mencapai cita-cita politik yang
dibungkus dalam kekerasan guna
menciptakan teror dan memakan korban rakyat sipil tidak berdosa.
Kusnato anggoro
dari center for Strategic and International Studies (CSIS) terorisme merupakan
kegiatan untuk menciptakan kekhawatiran dengan tujuan pokok mengubah kebijakan
dengan tindak kekerasan sebagai instrumen di indonesia, menurut kusnanto
kelompok laskar jihad bukan berarti terorisme. Gerakan komando jihad juga sulit
dianggap teroris karena tidak memiliki ideologi dan tujuan yang jelas serta berskala
kecil. Sementara peledakan bom jelas merupakan teror, karena menciptakan
kekhawatiran luar biasa.
Mengikuti
definisi di atas gerakan islam garis keras tidak identik dengan teroris.
Seperti kata K.H Hasyyim Muzadi “orang islam yang berwawasan keras kalau dia
keras –kerasnya sendiri , apa hubungannya dengan teroris. Baru disebut teroris
kalau dia berbuat deskruktif diluar dirinya. Mana yang domestik mana yang
bagian dari terorisme internasional, dan mana yang wacana yang keras tanpa
mereka melakukan kekerasan tanpa melanggar hukum. Perlu dibedakan kelompok
militan agama yang memiliki kepekaan tinggi terhadap masalah sosial dan
bergerak mengatasinya dengan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang baik dan mencegah
kemungkaran) dengan kelompok miiltan yang memang menggunakan teror dan
kekerasan. Militasi agama agama mengambil banyak bentuk. Meski sebagian kaum
militan cenderung beraksi dengan kekerasan dan teror, sebagian lainnya
beraktifitas tanpa kekerasan. Cukup banyak penganut agama militasi , yaitu
bahasa perjuangan sebagiannya menggunakan modus berperang , menyerang,membalas
serangan,berjuang atas mandat suci, dan berjuang dengan alat- alat yang cocok
dalam menjalankan tugas.
Berdasarkan hal
itu menurut david Little (1996) ada empat tipe militasi agama : intoleransi
dengan kekerasan,intoleransi beradab, intoleransi toleransi tanpa kekerasan dan
toleransi beradab.[8]
provokasi
kerusuhan, dan pemicu konflik horizontal. Tidak sedikit masyarakat awam
bersikap ekstrem dan eksesif dalam beragama. Menurut Yusuf Qardhawi(1981), ada
beberapa indikator religius extremism. Pertama fanatisme dan intoleransi,
sebagai akibat dari prasangka (prejudice), kekakuan (rigidity), dan kepicikan
pandangan (lack of insight), kemudian menggiring mereka untuk memaksa orang lain
, baik dalam bentuk terorisme intelektual seperti fitnah dan tuduhan penganut
bid’ah (mengada- ngada),kafir, fasik (menyimpang), murtad. Yang lebih terrfying
daripada terorisme fisik.
Kedua,
berlebihh-lebihan atau melampaui batas, misalnya ada saja kelompok agama yang
cenderung mengambil garis keras(hard-line) yang hobby berdemonstrasi dengan
makian , hasutan dan bahkan ancaman bom. Para penganjur agamakelompok ini
mendoktrinasi orang awam dan memanipulasi solidaritaskelompok akibat
kedangkalan pemahaman agama.
Ketiga
membebani orang lain tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi.
Keempat keras
dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain sehingga asas praduga tak
bersalah tidak pernah dihiraukan. Semua ciri ekstremisme agama yang tiranik dan
tidak agaliter ini jelas membahayakan hak-hak orang lain . ektremisme juga
melahirkan bahaya dan ketidaksamaan , serta mencabut rasa aman dan
perlindungan.oleh karena itu harus ada paradigm shift dari sikap beragama yang
inhumane kepada humane. Paradigma humanis ini adalah paradigma nilai, sikap,
norma, praktik keberagama (religiosity) yang menduukung kehidupan tanpa
kekerasan dan damai.
Sikap pertama
dalam paradigma humanis ini adalah moderasi. Agamawan ataupun awam yang moderat
akan cenderungg santun dan seimbang. Santun dalam menjalankan agamanya dan
interaksi sosial. Seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual,
individual dan sosial, serta dalam hubungan dengan tuhan, manusia, dan
lingkungan alam. Mereka yang moderat akan menjunjung keadilan dan kearifan
dalam bersikap tidak gampang terhasut, marah, menuduh, ataupun memaksa.
Cendekiawan
muslim Nurcholish madjid (cak nur) berkata, kita umat beragama berkewajiban
untuk meningkatkan kesadaran bahwa agama sama sekali tidak terkait dengan
terorisme untuk mengatasi simpangsiuran pengertian dan pemahaman dikalangan
masyarakat nasional dan internasional. Terorisme dengan teroris nya adalah
teror dan kejahatan atas kemanusiaan sementara agama adalah
agama yang keduanya secara adil bertolak belakang. pengertian harus
benar-benar dipahami dahulu untuk mencegah aksi negatif yangg sebenarnya bisa
dihindarkan.[9]
Dalam kelompok
Barat paling tidak ada Dua kelompok besar. Pertama adalah mereka yang selalu
mengait-ngaitkan setiap peristiwa teror dengan agama islam, penembakan snipers
yang baru- baru ini memakan korban belasan siswa sekolah negara bagian
maryland, amerika serikat (AS). Stigmatisasi semacam itu adalah trauma sejarah
yang luas, bagi kelompok ini agamalah penyebab terorisme. Bahkan ada di antara
mereka yang pindah agama atau anti agama sama sekali.
Kelompok kedua
lebih berfikir jernih dan arif mereka berpendapat bahwa teror biasa terjadi
dimana-mana dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Mereka bahkan mulai tertarik
untuk mengetahui apa itu agama. Gejala semaraknya kajian-kajian agama di barat
menunjukkan proposal dialog antar agama dan peradapan semakin mendapat tempat
dikalangan ini.
Di antara kelompok ini ada yang sangat kritis
terhadap kebijakan pemerintah AS sendiri, termasuk mereka yang menciptakan
opini dan demonstrasi anti serangan AS
ke Irak.
Setiap aksi
perusakan apalagi jika dilakukan dengan mengatasnamakan ideologi keagamaan diyakini sangat
membahayakan dan karena itu tidak bisa
ditolerir siapapun. Meski sering kali sulit ditemukan faktor- faktor penyebab
teror tampaknya bisa dilihat dari suatu pola umum, bahwa teror dengan skala besar
dilakukan menarik perhatian atau mengalihhkan perhatian dari sesuatu,
menumbuhkan sentimen permusuhan antar umat beragama dan kelompoik, dan
mengakibatkan situasi kacau negeri dan dunia.
Dalam kenyataan
sejarah agama bisa di jadikan alat pembenar terorisme ketika penghhayatan agama
seseorang atau kelompok tertentu rentan, sementara
ada faktor lain politik atau ekonomi yang begitu kuat dan sering
akumulatif , maka kkeberagamaan pada saat itu terkalahkan oleh faktor-faktor
yang lebih kuat sehingga yang muncul kemudian adalah nafsu pemaksaan dan
kekerasan.
Ekstremitas faham
dan gerakan cenderung membawa fanatisme, kekerasan,dan bahkan terorisme. Pada
kelompok-kelompok ekstrim, pemahaman teologis yang parsial dan ekstrim
mendorong tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan yang dianggap benar. Agama
dianggap melegimitasi tindakan kekerasan untuk mencegah kekerasan yang lebih
besar dan berkepanjangan. Kelompok ekstrem berkeyakinan kekerasan harus
dilakukan demi mencapai kondisi ideal menurut ideologi mereka. Keberagamaan
yang mampu menolak terorisme selalu
berawal dari sikap keberagamaan yang moderat. Bagi kalangan moderat, perdamaian
antar kelompok manusia memang rumit dan kompleks.s Tetapi bukan sesuatu yang
mustahil dicapai meski manusia sering dihadapkan pada pilihan pilihan sulit, pilihan
moderat (wasathan) akan menjamin kearifan berfikir dan bertindak.
Meski isu-
isu terorisme yang transnasional itu
masih terombang- ambing dalam dugaan dan kenyataan usaha sinergis untuk
mewaspadai dan menghadapi ancaman terorisme sangatlah penting karena dampaknya
begitu besar bagi stabilitas nasional.[10]
C.
Pluralisme
Secara sederhana “pluralisme” berasal dari kata “plural” yang
bermakna “banyak” atau “lebih dari satu”. Dalam kajian filosofis, pluralisme
diberi makna sebagai doktrin, bahwa subtansi hakiki itu tidklah satu
(monisme),tidak pula dua (dualisme), melainkan banyak (jamak). Dalam The
Oxford English Dictionary, pluralisme diahami sebagai suatu teori uang
menentang kekuasaan Negara
monolistis,
dan pula sebaliknya, mendukung desentralisasi dan otonomi untuk semua unsur
utama yang mewakili individu dalam masyarakat dan Negara, serta
keragaman
kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, institusi dan lainnya harus
terakomodasi dalam dinamika sosial.[11]
Istilah “pluralisme” merupakan salah satu konsep fundamental, yang
belakangan muncul sejalan dengan berbagai kebutuhan masyarakat modern.
Berbagai bangsa melihat pluralisme sebagai suatu sistem bagi
kehidupan manusia, yang di dasarkan kepada prinsip-prinsip bersama, yang
menjamin dihormatinya berbagai realitas yang plural dan diakuinya keragaman
orientasi yang dianut warga negara.
Pengertian dari pluralisme
agama yang pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Pluralisme
agama yang berarti “hidup bersosial kemasyarakatan secara baik, rukun dan damai
dengan penganut agama lain” bukan pluralisme agama dalam arti membenarkan semua
agama mampu menghantarkan manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan
abadi yang merupakan konsekuensidari pembenaran esensisetiap agama. Dan tentu
saja, semua yang di lakukan oleh Rasul saw tidak akan pernah bertentangan dengan
Al-Qur’an dan bahkan menjadi argumen (sunnah) bagi segenap kaum muslim di
dunia.
Kesenjangan antara pemahaman dan
praktik pluralisme terjadi akibat masih adanya persoalan dalam identitas
berbangsa. Segala sesuatu yang berasal dari barat selalu di nilai merongrong
eksistensi diri. Pluralisme juga masih difahami sebagai pencampuradukan ajaran
agama, bukan sebagai kesadaran atas realitas keberagaman kondisi masyarakat[12]
Pluralisme secara pemikiran dan praktek mengharuskan semua orang
yang menikmati eksistensinya sebagai warga negara untuk berbagai perandalam
rangka meraih tujuan bersama, yang dengan melaluinya mereka menuai
hasil dariaa yang di sebut sebagai “
manajemen hidup bersama”, yang menjamin toleransi berpolitik, iklim
dialogis dan pengakuan terhadap orang lain (baik eksistensin,pendapat, maupun
sikkapnya).[13]
Agama bisa berfungsi pada masyarakat yang pluralistis tidak saling
berbenturan. Misalnya, tentu bukan karena agama itu datand built-in
dengan konflik dan tampil iasoaial, tetapi karena para pemeluknya telah
mengekspresikan kebenaran agamanya secara monolitik dan eksklusif, dalam artian
bahwa subjetivitas kebenaran yang di yakininya sering kali menafikan kebenaran
yang diyakini pihak lain.
Dengan demikian, pluralisme dapat muncul pada masyarakat dimana pun
ia berada. Ia selalu mengikuti perkembangan masyarakat yang semakin cerdas dan
tidak ingin dibatasi oleh sekat-sekat sektarianisme. Pluralisme harus dimaknai
sebagai konsekuensi logis dari keadilan ilahi bahwa keyakinan seseorang tidak
dapat di klaim benar salah, tanpa mengetahui dan memahami terlebih dahulu latar
belakang pembentukannya, seperti lingkungan sosial budaya, referensi atau
informasi yang diterima, tingkat hubungan kendaraan ekonomi politik
kemudian di rekayasa sedemikian rupa demi kepentingan sesaat, tidak
akn diterima oleh seluruh komunitas manusia mana pun.
Agama tidak hanya dapat didekati melalui ajaran-ajaran atau
lebaga-lembaganya, tetapi juga dapat didekati sebagai suatu sistem sosial,
suatu realitas soaial di antara realitas sosial yang lain. Talcott Parsons
menyatakan bahwa “agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku; agama tidak
hanya
kepercayaan,
tetapi perilaku atau amaliah”. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan
termanifestasikan di dalam masyarakat.[14]
Di antara ciri-ciri utama pluralisme iala sifat menerima perbedaan
yang ada, menghargai kekurangan dan kelebihan masing-masing pihak, dan
kesediaan mengambil dan memanfaatkan yang terbaik. Ini bermakna bahwa sejak
awal, pluralisme merupakan satu sifat yang telah ada dalam ajaran islam. Dan
tentunya, orang islam yang mengamalkan ajaran islam ini, seharusnya memiliki
sifat pluralisme ini.
Lebih jauh lagi, islam menganjurkan agar sifat pluralisme ini di kembangkan, sebagai satu
syarat mewujudkan kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Sabda Nabi
Muhammad saw:
ارحم من في الارض يرحمك من في السماء ارحم ترحم انما يرحم الله من
عباده الرحماء(او كما قال)
“sayangilah orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya Allah
Swt yang di langit akan mengasihanimu. Bersayang- sayanglah, niscaya anda di
sayangi pula. Sesungguhnya Allah merahmati para hamba-Nya yang bersifat
penyayang”.[15]
D.
ISLAM dan KESETARAAN GENDER
Secara teologis
perempuan dan laki-laki diciptakan semartabat, sebagai manusia yang se-“citra”
dengan allah. Namun, tidak bisa dipungkiri, dalam
realitas-kultural-agama
antara keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan kekerasan
terutama kaum perempuan.di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan
terhadap perempuan dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional,
psikologi, entah secara domestik maupun publik.[16]
Paradigma lain
nengatakan bahwa islam merupakan sumber
kekerasan terhadap perempuan. Para
agamawan telah mengsalah artikan , doktrin,ajaran, bahkan teks-teks kitab suci
yang meninggirkan peran perempuan dalam agama.[17]
Sebagai contoh adaa sebuah teologi yang menyatakan bahwa perempuan diletakkan dalam posisi
sub-ordinasi terhadap suami. Pandangan teologis ini melihat pada sebuah kisah
tentang hawa(perempuan) yang “dituduh” sebagai “dosa asal” karena terbujuk
iblis dengan memetik dan memakan buah terlarang lantas memberikannya pada adam,
suaminya. Sementara bnyak kalangan yang menganggap kisah ini sebagai
peminggiran islam.[18]
Sampai sekarang
banyak penafsiran ayat al-qur’an yang
masih diterjamahkan dan dipahami menurut pola pandang patriarchal. Artinya,
masih menonjolkan kepentingan kepetingan laki-laki. Akibatnya, kepentingan
laki-laki lebih di unggulkan daan ditonjolkan. Ini semua di akibatkan karena
adanya penafsiran agama yang sudah
berumur ribuan tahun ditambah dengan adanya budaya yang patriarkhi, adat istiadat, dan
mitos-mitos tentang laki-laki dan perempuan, berakibat laki-laki mempunyai
perasaan dan kecenderungan misogenis.[19]
Padahal
sebenarnya islam adalah agama yang memihak kaum perempuan. Sebagai contoh ,”
poligami” beberapa pendapat mnyatakan
bahwa poligami itu
boleh,namun, sebaiknya mengkaji al-qur’an lbih dalam,lebih seksama
dan lebih teliti. Berikut ini ayat tentang poligami :
(#qßsÅ3R$$sù $tB
z>$sÛ
Nä3s9
z`ÏiB
Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur
yì»t/âur
(
(nikahilah dua atau tiga atau empat
perempuan yang baik menurutmu)
Ayat ini jangan dipotong
di situ saja, umumnya orang memotong sampai penggalan ayat tersebut. Padahal, ada
sambungannya yang sering dilupakan. Lanjutannya berbunyi :
÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès?
¸oyÏnºuqsù
....
(sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu
perempuan saja)
Maksud dari
adil disini tidak hanya berupa materil tapi immaterial termasuk cinta, kasih
sayang, perhatian dan lain sebagainya. Jadi, yang dituntut dalam ayat ini yang
sering dijadikan justifikasi teologi poligami tersebut adalah keadilan
immaterial. Sedangkan dalam al-qur’an disebutkan bahwa “engkau (suami) tidak
akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau telah berusaha keras”.
Jaddi keadilan itu tidak akan terwujud melalui poligami.
Banyak juga
nabi saw yang tidak membolehkan. Sebagai contoh, ketika ali meminta izin
menikah juwaryyah, rasulullah langsung menolak.
Islam tidak
hanya memihak perempuan tapi juga memandang persamaan laki-laki dan perempuan.
Salah satu misi rasulullah , adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Sebelum nabi diutus, arab berada padaa zaman jahiliyyah yang menganggap
perempuan dianggap barang yang bisa dihadiahkan,
dibagi-bagi, diwariskan, bahkan mereka tidak menghendaki
kehadirannya. Sehingga, tersohorlah adat pemakaman bayi perempuan hidup-hidup.
Tujuan allah mengutus rasulullah adalah untuk membebaskan kaum perempuan.[20]
Beberapa contoh al-qur’an memihak padaa kaum perempuan
1.
Dulu perempuan tidak boleh menerima warisan,namun sekarang boleh
meskipun perbandingannya satu banding dua denagn laki-laki
2.
Dulu perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam sebuah perkara,
namun sekarang boleh meskipun minimal dua orang saksi perempuan yang nilainya
sama dengan satu orang saksi laki-laki.
Secara
normatif, semua agama adalah antikekerasan. Sinergi antara agama dengan
jarinagn perempuaan akan memaksimalakan usaha untuk penyelenggaran pendidikan
pelatihan gender. Penegakan keadilan gender akan semakin terberdayakan.
Pengaembangan jaringan kemitraan dan kerjasama semacam ini dapat semakin
memudahkan kita melawan kekerasan dalam kehidupan. Kita harus mampu
menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan, sehingga
kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani perempuan.
Alangkah indahnya dunia kita, manakala perempuan yang merupakan mayoritas
makhluk tuhan yang menjadi pelopor antikekerasan ditengah kehidupan dengan hati,
kerahiman,dan kasih sayang.[21]
KESIMPULAN
Dari semua
perkara di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa Islam yang sesungguhnya
bukanlah sekedar menyembah Tuhan.Tuhan bukan lah berhala yang hanya untuk di
sembah semata,akan tetapi Tuhan adalah dzat yang nyata yang menciptakan segala
seisi jagad raya dan mengatur segala yang ada.
Dan Islam bukanlah agama yang premitif,akan tetapi islam adalah
agama yang maju dan bisa mengatasi masalah – masalah yang terjadi seiring
perkembangan zaman hingga sekarang. Akan tetapi msih dalam konteks Fikih yang
tauhid dan tidak menyimpang dari ajaran – ajaran islam yang sesungguhnya.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami paparkan kepada saudara. Kami ucapkan terimahkasih
kepada seluruh pihak yang mensukseskan pembuatan makalah ini, jazakumullahu
ahsanaljaza. Tak lupa permohonan maaf kami haturkan kepada saudara atas
kekhilafan kekhilafan dalam makalah ini. Kritik dan saran sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini pada khususnya, dan makalah selanjutnya pada
umumnya. Semoga bermanfaat, dan tetap semangat
Daftar
pustaka
Arkoun Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama:Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2001.
Nur Ma’mun Efendi, Meluruskan Makna Ijtihad dan Terorisme:Semarang:
2006.
Ghazali Adeng Muchtar, agama dan Keberagamaan dalam Konteks
Perbandingan Agama:bandung:Pustaka Setia,2004.
Thahhah Mustafa Muhammad,Rekonstruksi Pemikiran Menuju Gerakan
Islam Modern: Solo:Era Intermedia,2000.
Dawam ainurrofiq, Islam dan Pluralisme Masyarakat: Tangerang
Selatan: Falasia Pustaka,2009.
Ghazali Adeng Muchtar,Pemikiran Islam Kontemporer:Bandung:Pustaka
Setia,2005.
Ziqzuq Mahmud Hamdi, Reposisi Islam di Era Globalisasi:Yogyakarta:Pustaka
Pesantren,2004.
Abdullah Yatimin,Studi Islam Kontemporer: Jakarta:Amzah,2006.
[1] Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2001, hlm. 4.
[2] Adeng Muchtar Ghozali, Pemikiran Islam Kontemporer, Bandung:
Pustaka Setia,2005, hlm.127.
[3] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer,Jakarta:Amzah,2006,
hlm. 202.
[4] Mahmud Hamdi Zaqzuq,Reposisi Islam di Era Globalisasi,Yogyakarta:
Pustaka Pesantren,2004, hlm. 132.
[5] Abd m0qsith ghazali,ijtihat ialam lberal,hlm.6-10
[6] Ma’mun Efendi Nur,Meluruskan Makna Jihad dan terorisme,Semarang,2006,
hlm. 23.
[7] Ma’mun Efendi Nur,Meluruskan Makna Jihad dan terorisme,Semarang,2006,
hlm. 42.
[8] Muhammad Ali, Teologi plural-multikural, Jakarta : Buku
Kompas,2003.hlm.114
[9] Muhammad Ali, Teologi plural-multikural, Jakarta : Buku
Kompas,2003.hlm.108
[10] Muhammad Ali, Teologi plural-multikural, Jakarta : Buku
Kompas,2003.hlm.128
[11] Ainurrofiq Dawam,Islam dan Pluralisme Masyarakat, Tangerang
Selatan:Falasi Pustaka,2009, hlm. 71
[12] Ainurrofiq Dawam,Islam dan Pluralisme Masyarakat, Tangerang
Selatan:Falasia Pustaka,2009, hlm. 69.
[13] Musthafa Muhammad Thahhan, Rekontruksi Pemikiran Menuju
Gerakan Islam Modern, Solo: Era Intermedia,2000, hlm. 87.
[14] Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam konteks
Perbandingan Agama,Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 124.
[15] Ainurrofiq Dawam,Islam dan Pluralisme Masyarakat, Tangerang
Selatan:Falasi Pustaka,2009, hlm. 115.
[16] Aloys Budi Utomo, Membangun Teologi Inkluistik-Pluralistik,Jakarta:Kompas,2003,hlm.26
[17] Abdul Moqsith Ghazali,Ijitihat Islam Liberal,Jakarta:Jaringan
Islam Liberal,2005,hlm.254
[18] Aloys Budi Utomo, Membangun Teologi
Inkluistik-Pluralistik,Jakarta:Kompas,2003,hlm.27
[19] Abdul Moqsith Ghazali,Ijitihat Islam Liberal,Jakarta:Jaringan
Islam Liberal,2005,hlm.254
[20] Abd Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal,Jakarta:Jaringan
Islam Liberal,2005,hlm.256-458
[21] Alloys budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik,Jakarta:Kompas,2003,hlm.30